Jan 22, 2014

Mengerti dan Dimengerti

Aku dibesarkan dalam kekangan.


Itu yang jelas cukup mendeskripsikan bagaimana aku. Bagaimana aku penuh larangan. Bagaimana aku dikenal tidak mempunyai banyak kenalan dan teman. Bagaimana aku tidak berani tampil di depan umum. Bagaimana aku yang sudah merasa puas hanya kerja dibalik layar.

Aku anak tunggal. Kedua orang tua aku kerja. Aku dititipkan sama nenek di rumah aku. Tapi saat aku mulai sekolah SD, orang tua aku agak mengkhawatirkan kondisi anaknya. Mereka pun menyibukkan aku dengan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah supaya aku dapat terus dikontrol keberadaannya.

SMP, sekolah aku tepat dekat dengan ayah aku, bahkan pulang dan pergi aku pun bareng sama ayah aku. Bahkan SMA, aku masuk kelas akselerasi dimana tidak ada jam kosong buat aku main bersama teman aku yang lain selain anak kelas.

Dan asli, tanpa disadari, jiwa aku ngeberontak. Aku yang dikenal pendiam, penakut, pemalu, nurut, tidak pernah membantah, tidak punya teman, bahkan tidak berani berbicara dengan orang lain pun jadi memiliki dua kepribadian. Oke di rumah aku seperti itu. Aku hanya menghabiskan waktuku di dalam kamar dengan PC. Tapi di luar, aku menggila. Bahkan aku dikenal sebagai orang yang tidak pernah serius sama sekali.

Aku jadi menyukai musik keras dimana di sana aku bisa mengekspresikan jiwa aku yang berteriak ingin semua ini berhenti. Kekangan dan larangan ini berhenti. Aku kumpul dengan komunitas pecinta musik keras hingga akhirnya hati aku berlabuh di dunia jejepangan.

Di sini aku menjadi pribadi yang baru, yang aku inginkan. Aku bebas berbicara kasar, kotor, keras, berpikir demikian, bahkan berteman dengan siapapun yang kalau orang tua aku tau, mungkin aku sudah dilarang ke dunia jejepangan lagi.

Ini semua aku sembunyikan dari orang tua aku. Aku tidak ingin mereka melarang aku juga jika mereka tau keadaan aku ini. Tidak apa-apa, aku dikenal sebagai Merry di rumah dengan pribadi yang mereka lihat dan tau. Tapi aku adalah Emiko Shigenoi dimana aku jadi diri yang aku mau. Ini salah satu alasan aku selalu memakai nama Rei dibandingkan Merry ketika aku berkenalan dengan siapapun. Aku ingin mereka melihat aku sebagai pribadi aku yang aku mau, bukan apa yang orang tua aku tau.

Di Kuliah kondisi aku semakin menjadi-jadi. Aku yang sedikit jauh dari orang tua pun menjadi semakin nakal. Aku kabur kuliah, kabur les tambahan, bahkan memiliki pacar yang jauh dari penilaian orang tua aku.

Dan mereka tau masalah ini, mereka pun menarik paksa aku pulang. Bahkan aku disuruh untuk berhenti saat itu. Lebih baik aku di rumah, diam di rumah dan full pantauan orang tua aku. Tetangga bahkan kakek aku yang tau keadaan aku begitu, mereka iba denganku. Mau jadi apa aku nantinya? Ketakutan orang tua aku bener-bener tanpa alasan. Satu per satu mereka pun menasehati orang tua aku. Sampai akhirnya aku diperbolehkan kuliah kembali dengan persyaratan yang harus aku jalanin. 

Aku diam saja? Tentu saja tidak. Aku mencoba berbicara dengan mereka. Mereka menanyakan apa mau aku? Aku hanya ingin dipercaya dan tidak ingin dikekang seperti ini terus. Mereka malah salah paham dan menilai aku sebagai anak yang berani melawan orang tua. Aku tidak tau harus berkata apa lagi? Mereka membuat aku dijauhi oleh teman-teman aku yang dinilai menjadi orang yang merusak aku. Aku sudah menjelaskan semuanya, tapi mereka tidak mau mendengarkan alasan apapun. 

Dan untuk membuktikannya agar mereka mempercayai aku. Aku pun hiatus sebagai Emiko Shigenoi. Aku harus membuktikan pada mereka bahwa aku bisa menghandle akademik dan nonakademik aku tanpa mengecewakan mereka.

Tapi aku lelah. 

Jujur, aku sangat amat lelah.

Di luar, semua orang hanya tau aku tidak pernah serius. Aku rajin. Perkataan aku kotor dan kasar. Pemikiran aku kotor. Bahkan aku mudah dibohongi.

Tapi jauh di dalam hati aku, aku menangis. Aku menangis dalam diam. Aku tidak ingin seperti ini. Aku ingin bebas. Bebas jadi diri aku sendiri. Bebas memilih apa pun. Bebas memiliki apa yang aku mau. Bebas jadi apapun yang aku inginkan. Bebas menolak yang tidak sesuai dengan diri aku. Aku ingin begitu. Tapi aku hanya bisa berteriak dalam hati.

Diam-diam aku mencari pacar. Mengapa pacar? Mengapa aku tidak mencari sahabat? Tidak, karena untuk aku, pacar adalah satu paket yang di dalamnya dia bisa menjadi siapapun yang aku mau. Dia bisa sebagai pacar, teman, musuh, sahabat, kakak, teman menggila, teman sehobi, teman curhat, dan sebagainya. 

Satu per satu aku mulai memperkenalkan pacar aku ke orang tua aku. Berharap mereka mengerti dengan umur aku yang sudah cukup untuk memiliki pacar dan memberikan ijin padaku agar lebih bebas. Oke mereka memberikan ijinnya padaku, tapi apa yang aku dapatkan dari pacar aku tidak seperti yang aku duga. Kebahagiaan ketika memiliki seorang pacar tidak selalu aku rasakan, lebih banyak kesedihan yang aku jalani. Dengan umur dan keadaan aku saat itu, aku pun menggalau.

Ya, galau.

Depresi.

Bingung.

Menangis.

Itu semua aku rasakan. Mereka membuat aku kebal. Membuat perasaan ini kebal dari rasa sakit. Bahkan sampai aku tidak menyadari saat aku benar-benar tersakiti. Ketika aku merasakan rasa sakit yang teramat sangat, aku hanya bisa terdiam dan menyendiri sambil mendengarkan koleksi lagu keras yang aku punya.

Berharap orang tua aku dapat memberikan ketenangan padaku.

Ternyata tidak.

Orang tua aku hanya menambah pikiran dan sakit hati aku. Mereka yang sok mengajari aku tentang gimana pacaran saat jaman mereka dibandingkan dengan saat ini. Tentu saja berbeda. Belum lagi Ibu aku yang teracuni sinetron-sinetron TV yang sangat tidak mendidik itu. Aku lebih memilih Ibu aku kembali sibuk di kantor daripada di rumah pensiunan yang kerjaannya hanya menonton TV sepanjang hari.

Aku menggalau.

Terus menggalau.

Bahkan kata "galau" menjadi identik dengan keberadaan aku.

Kemudian datanglah seseorang yang tidak aku duga. Seseorang yang menyadarkan aku untuk berubah. Seseorang yang menunjukkan mana yang seharusnya dilakukan oleh aku ataupun tidak.

RWE.

Pertemuan tidak terduga kami, kesamaan dan kenyamanan yang kami rasakan membuat kami memilih untuk bersama. Dia pun menjadi pacar selanjutnya buat aku.

Seiring dengan berjalannya waktu, aku menyadari bahwa dia adalah sosok yang aku cari. Semua sosok yang aku inginkan dalam seorang pacar ada di dirinya dan itu terlalu sempurna. Terlalu lengkap. Bukan sempurna dalam artian dia adalah sosok pria tampan nan menawan, berlimpah harta dan pujian. Tetapi sempurna dalam artian lengkap dan dapat menjadi siapapun yang aku inginkan. Dia bisa sebagai pacar, teman, musuh, sahabat, kakak, teman menggila, teman sehobi, teman curhat, dan sebagainya. 

Dia mengajari aku banyak hal dan membuat aku tergerak untuk mencoba mengubah hidup aku seperti yang aku inginkan. Bukan aku yang mengikuti keadaan karena perasaan ini yang kebal. Banyak perubahan terjadi di hidup aku.

Jangan kalian pikir ini adalah akhir dari cerita aku.

Tentu saja tidak.

Keadaan aku yang sekarang tentu saja merupakan hal yang baru buat orang-orang di sekeliling aku. Aku yang selama ini mereka kenal mendadak menjadi kebalikan dari semuanya. Mereka merasa ini salah. Mereka merasa aku salah dan harus ditegur agar kembali ke jalannya. Mereka pun menyalahkan RWE.

Aku tidak ingin mereka menjauhkan aku dengannya. Perubahan yang terjadi padaku, bukan karena keinginannya. Tapi ini adalah pilihan aku yang ingin berubah. Aku ingin berubah menjadi lebih baik. Dan ini adalah satu-satunya cara.

Protes. Sindiran. Bahkan hinaan pun datang kepadaku. Aku dimarahi oleh sana sini. Mendapatkan protes hingga sindiran. Aku pun dijauhi. Bahkan sampai pada kondisi, aku benar-benar sendiri. Aku berusaha mengerti, perubahan itu tidak mudah untuk diterima. Tetapi kalau itu demi kebaikan kita, mengapa tidak?

Beberapa dari mereka berusaha mengerti dan tidak lagi menyalahkan RWE. Lainnya tetap berkelakuan seperti itu padaku. Tapi tidak apa-apa, selama RWE tidak menjadi kambing hitam dalam perubahan aku, biar rasa sakit ini aku yang tanggung sendiri. Ia tidak boleh ikut merasakannya.

Dalam perubahan ini, satu-satunya yang aku miliki dan percaya hanyalah RWE. Tapi aku tidak berharap aku menggantungkan segalanya padanya. "Aku hanya butuh RWE dan RWE hanya membutuhkan aku." Tidak seperti itu.

Kami pun menjalani perubahan yang signifikan ini bersama. Aku hanya berharap dia menemani dan mau mengerti aku.

Dia yang terbiasa jauh dari kekangan dan larangan pun begah dengan keadaan aku. Dia menunjukkan bagaimana kehidupan dia yang ternyata jauh berbeda dari kehidupan aku. Ini adalah kehidupan yang aku mau. Tentu saja kadang dia tidak betah dan merasa bosan dengan keadaan aku. Aku pun merasakan hal yang sama. Aku pun berusaha meminta pengertian dari orang tua aku agar mempercayai aku dan lebih membebaskan kami.

Tapi protes yang ada semakin membuat aku lemah. Protes semakin kuat. Perubahan yang aku jalani terlalu signifikan. Perubahan yang aku jalani terlalu banyak untuk mereka. Aku berusaha meminta pengertian dari mereka. Mereka hanya terlalu takut dan terlalu banyak berpikir negatif terhadap perubahan aku ke depannya akan seperti apa.

Di sisi lain, dia ingin aku menjadi yang aku mau. Aku menjadi aku yang dia kenal dan bebas seperti anak seumuran aku. Tidak dikekang seperti anak SD. Aku ingin seperti itu. Sangat ingin, tapi protes yang aku jalani ini begitu sulit. Jika aku terus melawan keadaan ini, aku takut aku akan membuat dia dinilai jelek oleh semuanya.

Mereka pasti mencari tau mengapa aku berubah. Aku berubah ketika ada RWE. Jadi mereka pasti berpikir RWE adalah penyebabnya. Semua sudah aku kasih pengertian. Aku jelaskan, tapi tidak semua menerima itu. Aku terus berusaha agar biar aku saja yang merasakan sakit dari protes yang mereka lakukan. Jangan dia. Jangan RWE.

Mengerti dan dimengerti.

Aku berusaha mengerti keadaan aku. Mengerti protes yang mereka lakukan dan memberikan mereka penjelasan tentang semuanya. Mengerti apa yang RWE inginkan agar aku menjadi lebih baik dan memberikan ia penjelasan tentang keadaan aku.

Tapi aku mohon pengertian dari semuanya. Pengertian dari semua orang yang protes ke aku. Jangan hanya mengiyakan kemudian tetap melakukan protes bahkan tanpa disadari menyakiti hati ini. Aku tidak mengumbar rasa sakit yang bagaimana atau apa penyebabnya ke semua, begitu juga ke RWE. Aku hanya minta pengertian. 

Dan kamu, RWE, cobalah mengerti aku dan sabar menemani aku menjalani ini semua. Semua tidak mudah, tapi aku sedikit demi sedikit akan mencapai semuanya. Aku pasti bisa, kita pasti bisa. My magic words :)

Mengerti dan dimengerti.

Semoga kalian mengerti bagaimana keadaan aku karena keadaan ini pun sulit untuk aku. Rasa sakit yang tidak pernah aku tunjukkan, menangis dalam diam.
Share: